Rabu, 09 Desember 2009

ANDA AKTIFIS...???


Sudah banggakah kau jika disebut sebagai aktifis? Aktifis, sebuah kebanggaan yang sering menjerumuskan orang pada keangkuhan dan kejahatan baru atas dirinya sendiri dan orang lain. Sebutan aktifis, oleh sebagian orang dianggap berbau pemberontakan, kekumuhan, anarkis dan yang jelek-jelek. Oleh sebagian orang dianggap sebagai sebutan yang mengagumkan, heroik, kayak pahlawan dan seperti pendekar dalam buku-buku silat.

Lalu sebenarnya mahluk apa aktifis itu? Ah, ya siapa yang dapat memberikan ta’rif atau definisi secara pasti. Semua pengertian dan definisi tentu akan bermuatan kepentingan dari yang merumuskan. Kalau tentara yang bikin, aktifis tentu akan diartikan sebagai pengacau, GPK, perusuh, penjarah dan sebagainya yang serba jelek-jelek. Kalau mahasiswa progresif yang bikin definisi, tentu akan diartikan sebagai anak manusia yang memiliki semangat dan praksis pembelaan kepada kebenaran dan keadilan seraya membumikannya dalam pemihakan terhadap orang-orang miskin dan tertindas. Lalu kata Pak Kiai yang arif, biarlah sekelompok anak-anak muda mencari jati diri dalam terang cahaya kenabian Muhammad. Mereka sedang menari mencari perhatian dihadapan Tuhan-Nya. Meraka sedang berusaha meniru keagungan Tuhan-Nya dengan cara manja dan lucu-lucu. Tapi jangan sekali-kali disepelekan, mereka bisa nekat, dan dahsyatnya dapat melebihi kekuatan sejuta petir angkasa. Jangankan kepalamu, raja-raja yang mengaku dirinya Tuhan, yang didukung jutaan pasukan bersenjata dan milisi sipil serta perangkat intelejen super canggih pun, dengan mudah dapat diruntuhkan.

Lalu, menurut Anda apa? Menurut saya, yang namanya aktifis itu, ya sepeti gemblong cotot yang terbuat dari ketela pohon, dimakan, dikunyak-kunyah lalu disemprotkan ke wajahmu. Nah Dashyat ‘kan? Makanya, jadi orang jangan sok mengaku sebagai aktifis. Apalah arti sebuah kebanggaan dihadapan manusia, sedang dihadapan Tuhan tidak kau dapatkan sesuatu pun kecuali penyesalan. Maka mari mencari Ridho Tuhan dengan belajar ikhlas dan mengikhlasi segala yang kita lakukan.

Kalau begitu, tidak ada kata lain, kecuali mengabdi dan berbakti kepada Tuhan melalui kehidupan nyata ini, Kebaktian dan Pengabdian bukanlah doa-doa di menara masjid dan gereja, melainkan pergulatan dengan lumpur penderitaan rakyat. (*)

Salatiga, 27 Juli 2007

Label:

PENGAKU

Semoga bukan sekedar slogan, itu pertama komentarku mengenai judul tulisan hasil permenungan ini.

“Pengakuan” semoga benar-benar artikulasi kesadaran diri akan realitas, kasunyatan dan ke-wadag-an diri. Sebuak nyanyian hasil refleksi penuh kesadaran dan tanpa sehelai tendensi, kecuali keinginan untuk lebih mendekat pada kesejatian makna hidup, mendekat pada kaki-kaki Kekasih di Kursi Arsy-Nya. Dan lebih menukikkan arah hidup dan sikap hidup kepada kedalaman samudera Cinta-Nya.

“Pengakuan” adalah penelanjangan diri atas diri sendiri dengan kesadaran dan pengertian yang terbebaskan dari intervensi serta pengaruh diluar kedirian diri.

Maka “Pengakuan” berarti pencopotan segala macam topeng, kosmetika wajah, kemunafikan sikap, kepura-puraan tekad, kepalsuan pemihakan yang menyembunyikan ambisi pribadi serta segala sikap hidup yang bersifat dusta.

“Pengakuan” berarti menginsafi potensi diri; kelemahan, kekurangan, cacat, ketidak-berdayaan, yang acap kali kita carikan penyelesaiannya dengan mengkambing-hitamkan teman, orang tua, rakyat, bahkan kadang-kadang Tuhan kita tuding-tuding sebagai biang kerok.

Sering kita menggugat (lebih tepatnya : nggrundeli) Tuhan atas kegagalan, kesedihan, kekecewaan dan kekalahan yang kita derita. Tuhan kita tuduh tidak konsisten terhadap ucapan-Nya yang akan menolong orang-orang yang berjuang dijalan-Nya. Kira-kira kita sering berucap :”…Damput! Tuhan itu gimana to ? Katanya kita disuruh ber amar makruf nahi munkar, kita disuruh menegakkan kebenaran dan keadilan, membela orang-orang lemah dan tertindas, tapi koq kita ndak dikasih fasilitas! Kita dijadikan tetap kere, bahkan tersisih, dikucilkan, diisolasikan dari pergaulan. Lho Tuhan ini Gimana To?! Tuhan koq ‘mencla-mencle’, nyuruh berjuang tapi ndak ngasih bekal….”. Uring-uringan ini tidak cupuk sampai disini, sebagian lain menambahkan, “Kalau begitu, Tuhan pasti sedang bercanda, tidak serius, alias main-main….!!!”

Seabreg “penghujatan” lainnya sering ‘tanpa sadar‘ nyrocos dari mulut kita. Baik mulut lahir maupun mulut batin. Namun, yang pasti, ‘caci-maki’, grundelan, gugatan dan sebangsanya itu tidak keluar dari mulut ‘bawah’ kaum perempuan. Dahsyat!

******

Nah, kembali pada tema “Pengakuan”. Jika kita dapat sampai pada maqam atau kedudukan sebagai orang yang mengaku, orang yang bersyahadat, maka kita akan menjadi orang yang anti-kambing hitam, anti menutupi persoalan dengan persoalan lain, anti bikin kerajinan apologi, anti bikin industri topeng untuk menutupi buruk wajah kita.

Persoalannya, barangkali adalah, “Pengakuan” itu secara ontologi apa, epistimologinya bagaimana dan aksiologinya kayak apa.

Tetapi sebenarnya ini bukanlah persoalan rumit. Semua gamblang dan terang. Bahwa ontologi “Pengakuan” adalah kesadaran kita sebagai manusia, orang-orang, yang hidup ini diciptakan Tuhan dengan seperangkat tujuan dan fungsi yang menyertai penciptaan itu. Epistimologinya, ya berawal dari relfeksi, permenungan, rela membelejeti diri menuju hakikat, inti terdalam, nukleus dari ruh hidup ini. Aksiologinya, yang jelas karena kita harus bersikap sesuai dengan tangggung-jawab kita sebagai khalifatullah fie al ardh, sebagai pemakmur bumi, lii’likalimatillah, ber-tabligh walau ayatan, ber-qulil haqqu walau kaana murran dan berjihad secara kontekstual. Atau ringkasnya, kita mesti memperjuangkan “amanat penderitaan Tuhan”.

Lho, jangan dikira Tuhan pada awalnya tidak menderita. Dahulu, Tuhan ketika masih sendirian merasa menderita karena keber-Ada-an-Nya tidak ada yang mengakui. Maka Tuhan menciptakan mahluk, termasuk manusia ini, agar mereka (para mahluk) mengakui-Nya. Menjadi para pengaku. Kalau anda tidak sepakat dengan pendapat saya ini, ya silahkan!. Wong Tuhan saja tidak pernah memaksakan kehendak-Nya. Membebaskan kita memilih iman atau kafir sebagaimana saya membebaskan saya dan anda untuk bergerak ketangga “Pengakuan” atau tetap memilih bertahan di anak tangga sebelumnya yang jumud, beku, inkonsisten, lari ditempat dengan fatamorgana mimpi-mimpi besar saya dan Anda. (*)

(Ditulis dalam naungan kearifan seorang Guru : KH. Mahfudz Ridwan, Lc. Di Wisma Santri EDI MANCORO Gedangan Tuntang Kab. Semarang pada tanggal 02 September 1997)

Label:

MENCINTAI RAHASIA

(buat ia yang tak pernah hadir, kecuali angan)

.................................................................

Aku malam ini merasa berat teringat engkau

meski berusaha aku bersikap wajar, tulus dan seadanya

tetapi rasa hati ini tidak dapat ku pungkiri

Terus terang, aku merasa sedih membayangkan hari-hari esok

dimana engkau menjalani sisa waktu hidupmu tanpa keyakinan cinta

.................................................................

jujur, aku menangkap resah di gurat wajahmu

jujur, aku menjadi penuh tanya

apa sebenarnya yang sedang engkau pilih

apa sebenarnya yang sedang engkau jalani

.................................................................

wahai yang tak tersentuh jemari,

adakah waktu dapat memupus semua kekhawatiranku

atas cinta yang tak lagi mampu ku tahan

meski untuk mengatakannya adalah sebuah kemustahilan

tetapi bisakah waktu memupus semua

.................................................................

memang, aku semestinya menyadari

tak mungkin lagi bunga-bunga mekar di pagi hari

karena saat ini senja menjelang tiba

pada kegelapan malam aku selalu bertanya

benarkah engkau bahagia

.................................................................

kadang karena cinta ini aku selalu ragu

adakah engkau bahagia

adakah semua hanya karena terpaksa saja

memang, aku tak mampu bicara

bahkan memelihara rasa ini saja aku dihantui dosa

wahai engkau yang selalu setia

.................................................................

terimakasih dariku atas ketulusanmu

yakinkanlah atas cinta ini menjadi sejati

biar awan terbang tinggi aku tak peduli

aku hanya ingin tahu bahwa engkau bahagia

.................................................................

memang, mencintai bukanlah untuk memiliki

mencintai adalah merasakan sambungan kehidupan

denyut nadi, darah, air mata dan teriakan

jika malam-malam tak lagi ramah kepada kita

apa yang mesti aku lakukan

.................................................................

memang, aku tak mungkin lagi berharap atas dirimu

tetapi cinta bukankah milik siapa saja

bukankah kasih sayang menjadi kebahagiaan

justru pada saat ia tak pernah terkatakan

.................................................................

jika kau baca tulisan ini pada suatu waktu nanti

jangan bersedih, jangan menyesal apalagi menangis

hidup memang harus berjalan dan terus berjalan

kegetiran menjadi bagian dari warna warni dunia

aku ikhlas atas derita ini, dalam cintamu yang bahagia

.................................................................

aku tak bisa bicara pada siapa-siapa

bahkan langitpun tak mampu menjadi sahabat

walau hujan datang menyapa aku tak peduli

aku mencintaimu, menyayangimu setulus kembang pagi

aku tahu kau akan berkata tentang keikhlasan

dan aku ikhlaskan semua menjadi kenyataan

dengan prasetiya kebahagiaanmu

.................................................................

aku tak bisa menulis kalimat-kalimat

karena pikiranku hancur berkeping

.................................................................

wahai para pecinta

kadang aku berharap engkau tahu atas apa yang aku rasa

tetapi segera aku pungkasi

karena pengetahuanmu tentang cintaku

akan membuatku kian menderita

saat engkau sadari bahwa kita tak mungkin bersama

..........................

Salatiga, 9 April 2006

Label:

UNTUK SEORANG KEKASIH


Burung-burung terbang ke angkasa

Meninggalkan tarian perih para pencinta

Mungkin tak seputih merpati

Tetapi awan tipis di atas sana terus berlari

Seakan membawa keping hati yang terluka

Setelah perjumpaan berakhir tragis

Pada saat bunga-bunga mekar

Ia tak lagi ada disini

....................................................

Burung-burung terbang ke angkasa

Mengepakkan sayap gontai

Nyanyiannya terhenti saat penembak jitu datang mendekat

Lalu ada hati terluka

Karena peluru tajam menembus jiwa

Kepada siapa aku mengadu

Sementara kejujuran pada teman hidup justru jadi bumerang

....................................................

Burung-burung masih terbang, semakin tinggi

Aku hanya mampu menatapnya pergi

Dengan sekeping hati terluka

Walau tak ada air mata, tangisan ini laksana nyanyian malam tak berkesudahan

Walau fajar pasti datang

Tetapi matahari tak lagi cerah

Setelah kabar duka sang pangeran terdengar di seberang sana

....................................................

Kekasih yang tak tersentuh jari

Masih adakah harapan burung-burung itu terbang merendah

Menyapaku kembali dengan segala ceritanya

Suka dan duka

Tangis dan bahagia

....................................................

Kekasih yang tak tersentuh jemari

Kabarkan padanya ada hati menanti

Ada jiwa merindu

Setelah perjumpaan yang membangkitkan kenangan

Atas perjanjian suci dua hati yang pernah terhenti

Pada saat mata tak jernih memandang keindahan

....................................................

Kekasih yang tak terjamah birahi

Keindahan bukanlah kesenangan lahiri

Tetapi pertautan batin yang saling mengerti

Yakinlah semua akan menjemputmu

Dengan segenap cinta

Dengan segenap rindu

....................................................

Salatiga,

menjelang tengah malam,

setelah lampu-lampu dipadamkan,

7 Desember 2004

Label:

PAGI MATAHARI TERBIT

.............................................

(Puisi untuk Sang Nabi)

.............................................

Selepas malam selesai mimpi

Aku bangun dari tidur pembaringan

Berdiri, mengusap mata, menyibak rambut panjang

Melangkah tak lagi goyah

Sepasti pagi matahari terbit

.............................................

Aku bernyanyi, lagu-lagu pengampunan

Aku bernyanyi, lagu-lagu keyakinan

Musik kehidupan tak lagi sendu

Semenjak kenyataan dipersaksikan

Terimakasih Tuhan ku

.............................................

Walau masih samar-samar terang

Remang fajar pasti menyongsong cahaya terang

Pagi matahari terbit

Apapun yang kau lakukan di malam-malam lalu

Apapun yang aku lakukan di senja-senja kemarin

Apapun yang dia lakukan diam-diam

Adalah makna dan memaknai

Adalah arti dan memahami

Adalah gerak kesadaran menuju kemuliaan

Menuju pagi matahari terbit


.............................................

Wahai sang nabi

Air wudlu mu belum kering

Saat kening mu bersujud mencium kaki Tuhan

Dalam doa-doa pepujian

Dalam doa-doa pengharapan

Dalam doa-doa permohonan

Dalam doa-doa keberpihakan

Dan kebenaran mu pasti

Sepasti pagi matahari terbit

.............................................

Wahai sang nabi

Ambil kereta kuda mu

Pergi ke perkampungan

Berikan petunjuk Nya

Muliakan manusia

Sepasti pagi matahari terbit

Dan aku? Ah tetap saja tentang cinta

.............................................

Salatiga,

Pagi matahari terbit,

Tetap saja tentang cinta,

5 Januari 2005

Label:

Untuk Yang Selalu Dendam

...................................

Melupakan mu adalah keindahan

Setelah fatamorgana datang menggoda

Menarikan bayangan pengharapan yang pernah singgah

Jauh sebelum hari-hari pilihan menjadi takdir-Nya

...................................

Melupakan mu adalah keselamatan

Setelah api dendam tak kunjung kau padamkan

Atas kesalahan membaca mantra-mantra

Dulu, jauh sebelum hari-hari pilihan menjadi takdir-Nya

...................................

Melupakan mu adalah keharusan

Setelah aku tahu dendam mu tak kunjung kau padamkan

Sakit jiwa mu mengganggu hari-hari mu

Dan aku tahu, kau ingin menyengsarakanku

...................................

Melupakan mu adalah kemenangan

Mata tajam mu tak mampu menggapai amarah mu

Menghancurkan kehidupan ku seperti yang kau angankan

Sementara tangan mu tak dapat lagi mencengkeram ku

...................................

Melupakan mu adalah karunia

Kesadaran sejati yang diwayhukan-Nya pada hening malam

Membuka mata batinku pada kanyataan yang sesungguhnya

Bahwa ramahmu menyembunyikan angkara

Bahwa tawamu memendam sembilu

Bahwa kecerianmu menutupi kebencian

Ya……… Semua jelas kini

Aku hampir terperangkap dendam masa lalu

Aku hampir tertangkap jerat kutuk mu

Aku hampir kalah dan kau hancurkan

Aku hampir menjadi korban kesumat mu

Aku hampir menjadi boneka mainan mu

Aku hampir menjadi wayang di tangan pedalangan mu

...................................

Melupakan mu adalah anugerah

Agar jalan lurus ini tetaplah lurus

Agar keyakinan ini tetaplah teguh

Agar bahtera ini tetaplah berlayar

Menuju tepian pantai pengharapan

Bersama permaisuri dan pangeran yang dititipkan-Nya

...................................

Melupakan mu adalah keindahan

Melupakan mu adalah anugerah

Melupakan mu adalah karunia

Melupakan mu adalah keharusan

Melupakan mu adalah keselamatan

Melupakan mu adalah kebenaran

Melupakan mu adalah kemenangan

...................................

Wahai engkau yang memelihara dendam

Jangan pernah lagi berhapar dapat mengalahkanku

Dengan segala muslihat dan tipuan permainan mu

Wahai engkau yang memelihara api angkara

Matilah segera agar dunia ini tak berat menyanggamu….!!!

...................................

Wahai engkau yang memelihara kemurkaan

Bukankah masa lalu telah lama terkubur?

Kenapa kau ingin menggalinya kembali hanya untuk kau hinakan?

...................................

Wahai engkau yang tak mampu menerima kekalahan

Belajarlah memenangkan kejernihan nurani

Karena dendam bukanlah bisik nurani

Karena dendam hanyalah tangan-tangan setan

...................................

Wahai engkau yang tak mampu menjadi diri sendiri

Cukuplah mempermainkan orang

Cukuplah menghinakan orang

Cukuplah menistakan orang

...................................

Wahai engkau yang masih mendendam

Ambillah air wudlu

Ucapkan dan patrikan kesaksian

Dirikanlah sholat

Laparkan perutmu dengan puasa

Hiasi tangan mu dengan zakat dan sedekah

Bugarkah dirimu dengan perjalanan ziarah ke tanah suci

Agar kau selamat dari murka Tuhan

Dengan memutihkan jiwa, membuang dendam

...................................

Wahai engkau yang selalu dendam

Berakhirlah……………….!!!

...................................

Salatiga,

Sepertiga malam terakhir,

Saat terbangun dari mimpi,

20 Desember 2004

Label:

Nyanyian Sunyi Untukmu, Istriku

.................................................................

Istriku,

Maafkan aku,

Jika tak mampu bahagiakanmu,

Memelukmu dengan rasa cinta,

Dan aku bisu,

Dalam diamku,

Tafakurku menjelajah sejarah,

Saat kau semakin ikhlas menerimaku,

Dalam kurang dan lemahku,

Sungguh, aku tak mampu membalasmu,

Dengan bahagia dan keindahan.

.................................................................

Istriku,

Ketabahanmu menyandera keangkuhanku

Dalam doa pengharapan akan kesetiaan

Semoga kita tegar menjalani sisa nafas penghabisan ini

Agar tak ada penyesalan

Agar tak ada kekecewaan

Yakinlah, semua akan menjadi bahagia

Dalam cinta yang tak mengenal keangkuhan

Dalam rindu yang tak mengenal keangkuhan

Dalam khilaf yang tak mengenal keangkuhan

Dalam sikap yang tak mengenal keangkuhan

.................................................................

Istriku,

Dalam kemanusiaanmu aku pun tahu

Mimpi dan pengharapanmu pada kewajaran hidup

Mimpi dan pengharapanmu pada keindahan hidup

Tetapi marilah semua kita kubur sedalam perut bumi

Agar kewajaran yang kita dapati adalah kewajaran para nabi

Agar keindahan yang kita dapati adalah keindahan cinta Ilahi

.................................................................

Istriku,

Aku memang bukan Sulaeman yang dikaruniai kekayaan

Aku memang bukan Nuh yang dikaruniai kapal pesiar besar

Aku memang bukan Yusuf yang dikaruniai ketampanan wajah

Aku memang bukan Ya’kub yang dikaruniai luasnya kesabaran

Aku memang bukan Isa yang dikaruniai mu’jizat kesaktian tangan

Aku memang bukan Daud yang dikaruniai keindahan suara

Aku memang bukan Muhammad yang dikaruniai kesempurnaan akhlaq

Aku memang hanya aku, debu kecil yang mengharap serpihan cinta-Nya

Aku memang hanya aku, yang mengalir di nadiku darah para nabi

Aku memang hanya aku, yang mendamba menjadi wakil-Nya di alam ini

Aku memang hanya aku, yang mendamba kesejatian-Nya

Aku memang hanya aku, yang ingin bersatu dengan-Nya

Aku memang hanya aku, seonggok daging yang tak bergerak jika tanpa digerakkan-Nya

Aku memang hanya aku, ruh yang berpisah dan kini menyatu kembali

.................................................................

Istriku,

Dalam kemanusiaanku, maafkan seluruh kesalahanku

Dalam kenistaanku, maafkan semua khilafku

.................................................................

Istriku,

Yakinlah….!!!!

.................................................................

Salatiga,

Menjelang fajar, saat hati terkoyak

15 Desember 2004

Label:

Kanjeng Syekh Marah


Malam Jumat sekitar pukul dua belas, aku didatangi Kanjeng Syekh. Wajah Kanjeng Syekh menyiratkan kelelahan yang sangat. Tanpa bicara apa-apa, Kanjeng Syekh menampar pipi ku sekeras-kerasnya. Plakk!

Dancuk! Sampeyan ini kenapa sih, datang-datang main gampar orang?!”, semprotku sewot atas perilaku orang tua ini.

“Kamu yang dancuk, Luqman!”.

“Lho, Kanjeng Syekh tiba-tiba koq menyalahkan aku?”.

“Biarin, memang apa susahnya menyalahkan orang, apalagi hanya kamu, heh!”.

O, Kanjeng Syekh ini sudah gila, pikirku. Mosok datang-datang main gampar, masih pakai menyalahkan tanpa sebab segala. Benar-benar gila orang tua satu ini.

“Kamu menuduh aku gila, ya, Luq?”, semprot Kanjeng Syekh sambil meludahi wajahku.

“Lho, Sampeyan koq tahu?”, setengah heran aku dibuatnya, lha baru ada dalam pikiranku, eh, orang ini sudah tahu kalau aku anggap dia gila.

“Ya tahu, begitu saja koq sulit!”.

“Kanjeng Syekh, Sampeyan pasti dibantu jin!”

“Biarin, begitu koq repot-repot?!”

Ah, Kanjeng Syekh ini benar-benar dancuk. Asu! umpatku dalam hati.

“Apa, heh, kamu bilang aku dancuk dan asu?”.

“Lho, Kanjeng Syekh koq tahu lagi?!”

“Ya tahu, begitu saja koq sulit!”.

“Sampeyan pasti ada yang mbisiki?!”.

“Ya, memang ada yang mbisiki aku, yaitu Gusti Allah!”.

“Ah, nDagel, kapan Kanjeng Syekh ketemu Gusti Allah?”, tanyaku sambil misuh-misuh tidak karuan.

“Sejak dulu, sebelum aku duduk di sini. Sejak aku pulang mlancong dari negeri Abu Nawas. Sejak ku temukan negeri ini dikuasi para setan dan iblis. Maka aku mencari Gusti Allah untuk ku pisuhi dan ku tempelengi. Wong katanya Dia itu Penguasa Tunggal di alam ini, mosok ada setan dan iblis yang setiap hari makan darah dan daging manusia, koq, dibiarin saja!”.

Sampeyan bisa ketemu Gusti Allah, di mana?”, tanyaku serius sambil membersihkan bekas ludah di wajahku yang baunya minta ampun. Pasti Kanjeng Syekh ini sudah tujuh tahun tidak gosok gigi.

“Ya ketemu, to, begitu saja koq sulit!”

“Di mana, Sampeyan bertemu Gusti Allah?!”

“Di pelosok-pelosok desa gersang dan tandus, di pinggir-pinggir kali tengah kota penuh sampah dan limbah, di rumah-rumah kardus pojok pasar, di tempat-tempat pelacuran, di pemukiman-pemukiman buruh, di emper-emper toko pada tengah malam, di tampat-tempat bangunan raksasa akan dibangun. Paham !?”.

“Tidak!”.

“Kenapa?”, tanya Kanjeng Syekh.

“Gusti Allah koq mirip-mirip dengan kekumuhan, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan ketertindasan. Kanjeng Syekh pasti ngawur!”, sergah ku sambil melongokkan kepala ke arah saku Kanjeng Syekh, siapa tahu ada rokok di sana, ‘kan lumayan.

“Rokokmu habis ya, Luq?!”.

“Lho, Kanjeng Syekh koq tahu lagi!”.

“Ya tahu, sana ambil rokok di dalam tas itu!”.

“Terimakasih, Kanjeng Syekh”, ucapku cengengesan.

Nah, kedatangan ku ….”,

“Stop!”, potongku segera, “aku mau bikin kopi dulu Kanjeng!”, seru ku sambil ngeloyor ke dapur.

*********

Aku masih mendengar Kanjeng Syekh misuh-misuh, jengkel karena tiba-tiba aku tinggal ke dapur. Biarin. Tapi jujur saja, aku nggak habis pikir, Kanjeng Syekh datang tengah malam dengan wajah kuyu, marah-marah, omong tentang Gusti Allah. Apa maksudnya? Sekedar kentut untuk membuang kepenatannya setelah hari-hari perjalanannya dipenuhi permasalahan yang tidak habis-habis atau ada maksud lainnya. Apalagi dengan kedudukannya yang baru sebagai penguasa kursi kasepuhan di Kasultanan.

Nah, kopinya sudah jadi. Di mana intip goreng tadi sore itu ya, siapa tahu Kanjeng Syekh lapar. Lumayan bisa buat ganjel perut. Nah ini dia!

“Ini kopinya, Kanjeng?!”.

“Lha, itu apa?!”, tanya Kanjeng Syekh menunjuk ke piring yang masih ku pegang.

“Ini intip yang digoreng dengan jlantah!”.

“Ah! Dasar kere!” gerutunya.

“Biarin!” sahutku singkat.

Beberapa saat kamudian tangan Kanjeng Syekh mengambil intip goreng dan dikremusnya dengan lahap.

“Nah enak kan Kanjeng?”, tanyaku sambil menyulut rokok kretek yang aku ambil dari tas Kanjeng Syekh.

“Nah!”, Kanjeng Syekh berbicara, “Aku datang ke sini untuk memarahimu secara serius, Luq?!”.

“Memang, apa salah ku?”.

“Kau telah melalaikan tugas!”.

“Tugas yang mana, Kanjeng?”.

“Tugas untuk meneruskan pekerjaan Kiai Mutamakin!”.

“Lho, apa hubungannya diriku dengan masalah Kiai Mutamakin, Kanjeng Syekh? Beliau ‘kan sudah wafat ratusan tahun lalu!”.

“Justru karena beliau sudah wafat itu, pekerjaannya harus kamu teruskan!”.

“Kanjeng Syekh, aku nggak kenal dengan Kiai Mutamakin, apalagi tahu pekerjaannya apa, Sampeyan ini ada-ada saja!”.

Nggak bisa! Kamu pasti tahu!”, bentak Kanjeng Syekh dengan roman muka serius.

“Tapi…..”.

“Begini saja…”, potong Kanjeng Syekh cepat, “Aku tidak mau tahu apakah kamu kenal Kiai Mutamakin atau tidak, tahu yang dikerjakannya atau tidak, pokoknya kamu harus meneruskan pekerjaan yang sudah dirintisnya. Titik!”.

Lho, Kanjeng Syekh koq maksa?”.

“Biarin. Yang maksa kan bukan aku!”.

“Lalu siapa?”.

“Gusti Allah!”, jawab Kanjeng Syekh sambil bangkit dari duduk dan hendak melangkah pergi.

“Gusti Allah ada di mana sekarang, aku mau bertemu langsung?”, tantangku sembari memegang ujung baju Kanjeng Syekh, biar tidak jadi pergi.

He, lepaskan bajuku!”, teriak Kanjeng Syekh, “Lepaskan! Nanti robek!”

Yo ben, ben kapok!”, jawabku sekenanya, “Di mana itu Gusti Allah, aku mau bertemu sendiri, biar tidak di peta-kompli terus”.

“Cari saja sendiri”, kata Kanjeng Syekh, “Di pelosok-pelosok desa gersang dan tandus, di pinggir-pinggir kali tengah kota penuh sampah dan limbah, di rumah-rumah kardus pojok pasar, di tempat-tempat pelacuran, di pemukiman-pemukiman buruh, di emper-emper toko pada tengah malam, di tampat-tempat bangunan raksasa akan dibangun!”.

Dancuk!”, semprotku.

Yo ben!”, teriak Kanjeng Syekh sambil pergi. Pencolot. Grobyyak. Darrr.

Asu! Aku nabrak pintu reotmu, Luq!” (***)

(Papringan ABC, Salatiga, Rabu, 23 Februari 2000)

Label:

Sunan Kalijogo Terjerat Hutang

Sore ini aku bertanya kepada Kanjeng Sunan Kalijogo yang sedang menikmati secangkir kopi kental. Sambil leyeh-leyeh di bangku bambu depan rumah, diterangi cahaya teplok, Kanjeng Sunan menyedot rokok lintingannya sambil menerawang jauh, jauh sekali.

“Kanjeng Sunan, tampaknya sampean lelah, habis dari mana to seharian?”

“Ah ndak dari mana-mana. Sudah berhari-hari aku tidur...”.

“Lho Kanjeng Sunan tidur berhari-hari?!

“Ya...!!!” Jawab Kanjeng Sunan sambil nyokot singkong bakar yang ndak tahu dari mana datangnya.

“Kanjeng Sunan sakit?!”, aku kembali bertanya.

Ndak, cuma pegel-pegel dan terasa berat. Aku sedang malas untuk mengerjakan sesuatu....”.

Aku tahu, biasanya kalau sudah begini Kanjeng Sunan tidak ingin diganggu lagi. Tapi aku nekad.

“Lho, Kanjeng Sunan malem ini seharusnya menghadiri rembugan agung di paseban istana kerajaan, koq belum bersiap-siap..”.

“Ya ndak apa-apa, yang butuh rembugan itu ‘kan para punggawa kerajaan yang merasa diberi amanat untuk memangku kesejahteraan rakyat...”.

“Lho Kanjeng Sunan ‘kan selama ini juga selalu bicara tentang amanat rakyat?!”

“Ya, itu ‘kan kemarin dulu, hari ini tidak!”

“Kenapa Kanjeng?”

“Ya ndak apa-apa!”

“Apa Kanjeng Sunan sedang menghadapi permasalahan yang cukup berat?”, aku coba bertanya.

“Ya, malasahku sangat berat. Aku terjerat hutang. Hutangku banyak. Hutangku terlalu banyak yang harus ku bayar. Hutang kepada tetangga dan anak-anak yatim serta orang-orang miskin di sekelilingku, aku belum mampu melunasi semua itu”.

“Berapa juta?” aku pura-pura ndak tahu.

“Berjuta-juta!”.

“Untuk keperluan apa sampean hutang begitu banyak?”.

“Bukan aku yang butuh!”, Kanjeng Sunan berhenti sejenak, mengambil singkong bakar, dilemparkan ke udara dan ditangkap dengan mulut beliau yang nampak tidak pernah gosok gigi. Pluk. “Aku juga ndak tahu, tiba-tiba hutangku banyak. Ini kerjaan Gusti Allah!”.

“Lho Koq malah misuhi Gusti Allah?”

“Aku ndak misuhi Gusti Allah, aku hanya tidak paham kenapa tiba-tiba aku dibebani hutang yang begitu banyak, padahal yang punya hutang itu sejatinya Gusti Allah!”.

“Ah Sampeyan bercanda, masak Gusti Allah punya hutang?!”

“Ya, Gusti Allah ‘kan selama ini meminjam kesejahteraan dan kebahagiaan serta kekayaan sekian banyak orang miskin untuk diberikan kepada orang-orang gede, punggawa kerajaan dan para putra-putri raja”.

Aku sedikit bingung.

“Nah...”, lanjut Kanjeng Sunan, “hari ini semua itu mesti dikembalikan lagi kepada yang berhak. Kehormatan, kesejahteraan, kekayaan dan kebahagiaan itu sudah saatnya dikembalikan kepada yang berhak”.

“Kalau begitu, itu ‘kan tugasnya Gusti Allah, bukan tugas Sampean...!”.

“Itu benar. Tapi kalau Dia laksanakan sendiri dengan bilang kun fa yakun, lalu semua kembali kepada yang berhak, ‘kan dunia ini jadi ndak indah, jadi ndak ada seninya, akal manusia jadi ndak berguna, pokoknya jadi ndak enak deh!”.

“Oh begitu to, Kanjeng?!” Kataku sambil manggut-manggut. Di dalam pikiran, aku merasa setengah paham setengah bingung, bahkan setengah menggugat. Mosok Gusti Allah punya hutang kepada manusia, apalagi mereka yang disebut Kanjeng Sunan itu orang-orang yang dalam pandangan pembangunan harus disingkirkan, minimal digusur biar tidak mengotori indahnya wajah kota. Apa mungkin Gusti Allah punya hutang kepada mereka?

"Lantas, apa Kanjeng Sunan akan menyelesaikan tugas itu sendirian?" tanyaku memecah keheningan sambil menyalakan rokoh Dji Sam Soe yang tinggal sebatang pemberian Pak Kiai Mahfud kemarin.

"Seharusnya aku tidak sendiri, sebab pada setiap pundak manusia ciptaan Gusti Allah ada kewajiban untuk mengerjakan seperti apa yang harus aku kerjakan!", jawab Kanjeng Sunan sambil minta joinan rokok.

"Kalau begitu mari kita kumpulkan semua orang, untuk bersama-sama melaksanakan kewajiban itu!", usulku kepada Kanjeng Sunan.

"Tidak semudah itu, cah bagus!"

"Kenapa?!", sergahku cepat.

"Kewajiban membayar hutang itu, tidak semua orang menyadari sebagai tugasnya. Bahkan tidak seditik yang meyakini hutang itu sebagai bantuan cuma-cuma. Lha belum lagi, upaya perlawanan dari mereka yang selama ini menikmati pinjaman hutang itu, mereka kuat lho!".

"Mereka itu orang gede", potongku, "punggawa kerajaan, raja beserta keluarganya, betulkan?!"

"Tambah satu lagi".

"Siapa?"

"Serdadu".

"Gawat", gumamku, "mereka punya bedil, kita ketapel saja tidak punya, pasti dengan mudah kita di thus oleh mereka", sambil tanganku aku kepalkan kecuali ibu jari dan jari telunjuk yang aku tempelkan di kepala.

"Ah, penakut!".

"Lebih baik mati dalam pelukan Cinta Gusti Allah SWT dari pada hidup mewah mengabdi kepada kekuasaan tiran yang korup dan menindas!", tegas Kanjeng Sunan sambil melingkis lengan baju yang aku duga sudah dua minggu tidak dicuci.(****)

Gedangan, 08 Agustus 1999

Label: