Rabu, 09 Desember 2009

Sunan Kalijogo Terjerat Hutang

Sore ini aku bertanya kepada Kanjeng Sunan Kalijogo yang sedang menikmati secangkir kopi kental. Sambil leyeh-leyeh di bangku bambu depan rumah, diterangi cahaya teplok, Kanjeng Sunan menyedot rokok lintingannya sambil menerawang jauh, jauh sekali.

“Kanjeng Sunan, tampaknya sampean lelah, habis dari mana to seharian?”

“Ah ndak dari mana-mana. Sudah berhari-hari aku tidur...”.

“Lho Kanjeng Sunan tidur berhari-hari?!

“Ya...!!!” Jawab Kanjeng Sunan sambil nyokot singkong bakar yang ndak tahu dari mana datangnya.

“Kanjeng Sunan sakit?!”, aku kembali bertanya.

Ndak, cuma pegel-pegel dan terasa berat. Aku sedang malas untuk mengerjakan sesuatu....”.

Aku tahu, biasanya kalau sudah begini Kanjeng Sunan tidak ingin diganggu lagi. Tapi aku nekad.

“Lho, Kanjeng Sunan malem ini seharusnya menghadiri rembugan agung di paseban istana kerajaan, koq belum bersiap-siap..”.

“Ya ndak apa-apa, yang butuh rembugan itu ‘kan para punggawa kerajaan yang merasa diberi amanat untuk memangku kesejahteraan rakyat...”.

“Lho Kanjeng Sunan ‘kan selama ini juga selalu bicara tentang amanat rakyat?!”

“Ya, itu ‘kan kemarin dulu, hari ini tidak!”

“Kenapa Kanjeng?”

“Ya ndak apa-apa!”

“Apa Kanjeng Sunan sedang menghadapi permasalahan yang cukup berat?”, aku coba bertanya.

“Ya, malasahku sangat berat. Aku terjerat hutang. Hutangku banyak. Hutangku terlalu banyak yang harus ku bayar. Hutang kepada tetangga dan anak-anak yatim serta orang-orang miskin di sekelilingku, aku belum mampu melunasi semua itu”.

“Berapa juta?” aku pura-pura ndak tahu.

“Berjuta-juta!”.

“Untuk keperluan apa sampean hutang begitu banyak?”.

“Bukan aku yang butuh!”, Kanjeng Sunan berhenti sejenak, mengambil singkong bakar, dilemparkan ke udara dan ditangkap dengan mulut beliau yang nampak tidak pernah gosok gigi. Pluk. “Aku juga ndak tahu, tiba-tiba hutangku banyak. Ini kerjaan Gusti Allah!”.

“Lho Koq malah misuhi Gusti Allah?”

“Aku ndak misuhi Gusti Allah, aku hanya tidak paham kenapa tiba-tiba aku dibebani hutang yang begitu banyak, padahal yang punya hutang itu sejatinya Gusti Allah!”.

“Ah Sampeyan bercanda, masak Gusti Allah punya hutang?!”

“Ya, Gusti Allah ‘kan selama ini meminjam kesejahteraan dan kebahagiaan serta kekayaan sekian banyak orang miskin untuk diberikan kepada orang-orang gede, punggawa kerajaan dan para putra-putri raja”.

Aku sedikit bingung.

“Nah...”, lanjut Kanjeng Sunan, “hari ini semua itu mesti dikembalikan lagi kepada yang berhak. Kehormatan, kesejahteraan, kekayaan dan kebahagiaan itu sudah saatnya dikembalikan kepada yang berhak”.

“Kalau begitu, itu ‘kan tugasnya Gusti Allah, bukan tugas Sampean...!”.

“Itu benar. Tapi kalau Dia laksanakan sendiri dengan bilang kun fa yakun, lalu semua kembali kepada yang berhak, ‘kan dunia ini jadi ndak indah, jadi ndak ada seninya, akal manusia jadi ndak berguna, pokoknya jadi ndak enak deh!”.

“Oh begitu to, Kanjeng?!” Kataku sambil manggut-manggut. Di dalam pikiran, aku merasa setengah paham setengah bingung, bahkan setengah menggugat. Mosok Gusti Allah punya hutang kepada manusia, apalagi mereka yang disebut Kanjeng Sunan itu orang-orang yang dalam pandangan pembangunan harus disingkirkan, minimal digusur biar tidak mengotori indahnya wajah kota. Apa mungkin Gusti Allah punya hutang kepada mereka?

"Lantas, apa Kanjeng Sunan akan menyelesaikan tugas itu sendirian?" tanyaku memecah keheningan sambil menyalakan rokoh Dji Sam Soe yang tinggal sebatang pemberian Pak Kiai Mahfud kemarin.

"Seharusnya aku tidak sendiri, sebab pada setiap pundak manusia ciptaan Gusti Allah ada kewajiban untuk mengerjakan seperti apa yang harus aku kerjakan!", jawab Kanjeng Sunan sambil minta joinan rokok.

"Kalau begitu mari kita kumpulkan semua orang, untuk bersama-sama melaksanakan kewajiban itu!", usulku kepada Kanjeng Sunan.

"Tidak semudah itu, cah bagus!"

"Kenapa?!", sergahku cepat.

"Kewajiban membayar hutang itu, tidak semua orang menyadari sebagai tugasnya. Bahkan tidak seditik yang meyakini hutang itu sebagai bantuan cuma-cuma. Lha belum lagi, upaya perlawanan dari mereka yang selama ini menikmati pinjaman hutang itu, mereka kuat lho!".

"Mereka itu orang gede", potongku, "punggawa kerajaan, raja beserta keluarganya, betulkan?!"

"Tambah satu lagi".

"Siapa?"

"Serdadu".

"Gawat", gumamku, "mereka punya bedil, kita ketapel saja tidak punya, pasti dengan mudah kita di thus oleh mereka", sambil tanganku aku kepalkan kecuali ibu jari dan jari telunjuk yang aku tempelkan di kepala.

"Ah, penakut!".

"Lebih baik mati dalam pelukan Cinta Gusti Allah SWT dari pada hidup mewah mengabdi kepada kekuasaan tiran yang korup dan menindas!", tegas Kanjeng Sunan sambil melingkis lengan baju yang aku duga sudah dua minggu tidak dicuci.(****)

Gedangan, 08 Agustus 1999

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda